PEMANFAATAN
LIMBAH PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN
MAKALAH
SEMINAR
OLEH
SYAMSIR
NIM
: 632411050
UNIVERSITAS
NEGERI GORONTALO
FAKULTAS
PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
JURUSAN
TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN
2016
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur ke
hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah seminar satu ini dengan baik. Makalah
seminar satu dengan judul ”Pemanfaatan Limbah Hasil Perikanan” merupakan salah satu
syarat untuk lulus dimata kuliah seminar satu di Jurusan Teknologi Hasil Perikanan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Negeri Gorontalo. Pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada pembimbing saya yaitu
bapak Lukman Mile S.Pi, M.Si. Yang
memberikan arah dan petunjuk dalam penulisan seminar satu.
Penulis menyadari bahwa
dalam penulisan makalah seminar satu ini masih banyak kekurangannya. Oleh
karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari
semua pihak demi penyempurnaan makalah seminar satu ini. Semoga makalah seminar
satu ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.
Gorontalo,
Mei 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR .......................................................................................... i
DAFTAR ISI
......................................................................................................... ii
DAFTAR
TABEL................................................................................................ iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang........................................................................................... 1
1.2 Tujuan.......................................................................................................
2
1.3 Manfaat...................................................................................................... 2
BAB II LIMBAH PENGOLAHAN HASIL PERKANAN
2.1
Pengertian Limbah Hasil Perikanan........................................................... 3
2..2 Limbah
Industri Perikanan......................................................................................................... 3
2.3 Jenis
Jenis Limbah Hasil Perikanan............................................................ 4
BAB III
PEMANFAATAN LIMBAH PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN
3.1 Tulang Ikan................................................................................................ 6
3.2 Kulit ikan................................................................................................... 8
3.3 Petis ikan.................................................................................................. 12
3.4
Silase Ikan................................................................................................ 16
3.5 Pupuk Cair Organik Limbah Hasil Perikanan.......................................... 19
BAB IV PENUTUP
3.1
Kesimpulan.............................................................................................. 24
DAFTAR
PUSTAKA......................................................................................... 25
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Ikan
merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable
food) karenanya
begitu ikan tertangkap, maka proses penanganan dalam bentuk pengawetan harus
segera dilakukan. Selama pengolahan ikan, masih banyak bagian-bagian dari ikan,
baik kepala, ekor maupun bagian-bagian yang tidak termanfaatkan akan dibuang.
Tidak mengherankan kalau sisa ikan dalam bentuk buangan dan bentuk-bentuk
lainnya berjumlah cukup banyak, apalagi kalau ditambah dengan jenis-jenis ikan
lainnya yang tertangkap tetapi tidak mempunyai nilai ekonomi dan hanya menjadi
tumpukan limbah (Resmawati, 2012). Dengan berkembangnya agroindustri
hasil perikanan selain membawa dampak positif
yaitu sebagai penghasil devisa, memberikan nilai tambah dan penyerapan
tenaga kerja, juga telah memberikan
dampak negatif yaitu berupa buangan limbah. Limbah hasil dari kegiatan tersebut
dapat berupa limbah padat dan limbah cair (Ibrahim, 2005).
Meningkatnya
produksi ikan akan diiringi pula peningkatan limbah ikan baik berupa kulit dan
sisik ikan. Limbah dari sektor perikanan selain dihasilkan oleh TPI juga
dihasilkan oleh industri-indusrti kecil yang bergerak dibidang pengasapan ikan,
presto ikan, terasi dan ikan asin. Saat ini belum ada upaya untuk mengolah
lebih lanjut limbah kelautan dan perikanan yang berupa kulit dan sisik ikan (Hartati, 2010).
Dari data yang dapat
dikumpulkan Ditjen Perikanan (2007) masih terdapat antara 25 - 30% hasil tangkapan ikan laut
yang akhirnya harus menjadi ikan sisa atau ikan buangan yang disebabkan karena
berbagai hal, diantaranya keterbatasan pengetahuan dan sarana para nelayan
didalam cara pengolahan ikan. Misalnya, hasil tangkapan masih terbatas sebagai
produk untuk dipasarkan langsung (ikan segar), atau diolah menjadi ikan asin,
pindang, terasi serta hasil-hasil olahannya. Tertangkapnya jenis-jenis ikan
lain yang kurang berharga ataupun sama sekali belum mempunyai nilai dipasaran,
yang akibatnya ikan tersebut harus dibuang kembali
Berdasakan latar belakang penyusun
membuat kajian pustaka tentang pemnfaaatan limbah pengolahan hasil perikanan.
1.2 Tujuan
Untuk mengetahuai pemanfaatan limbah
pengolahan hasil perikanan.
1.3
Manfaat
Adapun manfaat dari
penyusunan makalah ini yaitu:
1. 1Menambah ilmu
pengetahuan tentang pemanfaatan limbah hasil perikanan bagi penulis
sendiri dan pada umum
2. Memberi informasi pengetahuan kepada masyarakat tentang
pemanfaatan limbah hasil perikanan .
BAB II
LIMBAH PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN
2.1
Pengertian Limbah Hasil Perikanan
Limbah
hasil perikanan adalah buangan yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat
tertentu tidak dikehendaki lingkungannya karena tidak mempunyai nilai ekonomis,
yang ketika mencapai jumlah atau kosentrasi tertentu, dapat menimbulkan dampak
negatif bagi lingkungan (Gintings, 1992). Sedangkan menurut Setiyawan (2010) limbah merupakan hasil sisa produk utama dari suatu proses yang
berasal dari bahan dasar atau bahan bantu proses tersebut. Lebih lanjut
Setiyawan (2010) menyatakan
limbah juga dapat diartikan sebagai buangan yang kehadirannya pada suatu saat
dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai
ekonomis.
Limbah
yang dihasilkan dari kegiatan perikanan masih cukup tinggi, yaitu sekitar 20 –
30% dari produksi ikan yang telah mencapai 6.5 juta ton pertahun. Hal ini
berarti sekitar 2 juta ton terbuang sebagai limbah. Limbah yang dihasilkan dari
kegiatan perikanan adalah berupa : 1) ikan rucah yang bernilai ekonomis rendah
sehingga belum banyak dimanfaatkan sebagai pangan; 2) bagian daging ikan yang
tidak dimanfaatkan dari rumah makan, rumah tangga, industri pengalengan, atau
industri pemfiletan; 3) ikan yang tidak terserap oleh pasar, terutama pada
musim produksi ikan melimpah; dan 4) kesalahan penaganan dan pengolahan (Ditjen Perikanan, 2007).
2..2 Limbah Industri Perikanan
Limbah pada
dasarnya adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari suatu sumber
aktivitas manusia maupun proses alam dan belum mempunyai nilai ekonomis,
bahkan dapat mempunyai nilai ekonomi negatif karena penanganan untuk
membuang atau membersihkan memerlukan biaya yang cukup besar disamping dapat
mencemari lingkungan. Menurut Laksmi dan Rahayu (1993) penanganan limbah yang
kurang baik merupakan masalah di dalam usaha industri termasuk industri
perikanan yang menghasilkan limbah pada usaha penangkapan, penanganan,
pengangkutan, distribusi, dan pemasaran. Limbah sebagai buangan industri
perikanan dikelompokkan menjadi tiga macam berasarkan wujudnya yaitu limbah
cair, limbah padat, dan limbah gas. Limbah cair adalah bahan-bahan pencemar
berbentuk cair. Air limbah adalah air yang membawa sampah (limbah)dari rumah
tinggal, bisnis, dan industri yaitu campuran air dan padatan terlarut atau
tersuspensi dapat juga merupakan air buangan dari hasil proses yang dibuang ke
dalam lingkungan. Limbah cair yang dihasikan oleh industri pengolahan ikan
mempunyai pH mendekati 7 (netral), yang disebabkan oleh adanya dekomposisi
bahan-bahan yang mengandung protein dan banyaknya senyawa-senyawa amonia.
Kandungan
limbah cair industri perikanan tergantung pada derajat kontaminasi dan juga
mutu air yang digunakan untuk proses (Gonzales dalam Heriyanto, 2006). Bau yang timbul dari limbah cair perikanan
disebabkan oleh dekomposisi bahan- bahan organik yang menghasilkan senyawa
amina mudah menguap, diamina dan amoniak. Limbah cair industri perikanan
memiliki kandungan nutrien, minyak, dan lemak yang tinggi sehingga menyebabkan
tingginya nilai COD (Chemical
Oxygen Demand), terutama berasal dari proses
penyiangan usus dan isi perut serta proses pemasakan (Mendezet a1, 1992 dalam
Sari, 2005).
2.3
Jenis-jenis Limbah Hasil Perikanan
Usaha
perikanan selain menghasilkan nilai ekonomis yang tinggi, tetapi juga ikut
berperan dalam menghasilkan limbah. Limbah yang dominan dari usaha perikanan
adalah limbah dan cemaran yang berupa limbah cair yang membusuk sehingga menghasilkan bau amis/busuk yang sangat
menganggu estetika lingkungan (Ditjen
Perikanan, 2007),
sedangkan menurut Dewantoro (2003) limbah yang dihasilkan dari
industri pengolahan hasil perikanan umumnya dapat di golongkan menjadi 3
kelompok yaitu:
a. Limbah
padat: limbah padat basah dan limbah padat kering
b. Limbah
cair
c. Limbah
hasil samping
Limbah
Padat. Limbah padat
bersifat basah dan dihasilkan oleh usaha perikanan berupa
potongan-potongan ikan yang tidak dimanfaatkan. Limbah ini berasal dari proses
pembersihan ikan sekaligus mengeluarkan isi perutnya yang berupa jerohan dan
gumpalan-gumpalan darah. Selain itu, limbah ini juga berasal dari proses cleaning, yaitu membuang kepala, ekor,
kulit, dan bagian tubuh ikan yang lain, seperti sisik dan insang (Setiyawan, 2010).
Karena
proses ini melibatkan banyak aktifitas yang lain, maka juga dihasilkan limbah
padat yang kering berupa sisa/potongan karton kemasan, plastik, kertas, kaleng,
tali pengemas, label kemasan dan potongan sterofoam,
dan sebagainya. Kondisi limbah padat kering ini dapat dalam keadaan bersih
(belum terkontaminasi oleh bahan lain) maupun sudah dalam keadaan
terkontaminasi oleh bahan lain seperti ikan/udang, bahan pencuci produk, darah,
dan lendir ikan (Dwicaksono et al. 2013).
Menurut
Dewantoro(2003) komposisi limbah padat usaha perikanan terdiri dari: (1) Daging
merah sebanyak 25%, (2) Bone (kepala,
duri, ekor) sebanyak 55%, (3) Isi perut (jerohan dan darah) sebanyak 15% dan
(4) Karton, plastik, dan lain-lain sebanyak 5%.
Limbah
berupa daging merah, bone (kepala,
duri, ekor), isi perut, dan karton atau plastik tersebut akan menimbulkan
masalah yang serius terhadap lingkungan apabila tidak dikelola dengan baik.
Permasalahan yang mungkin timbul adalah adanya bau amis dari potongan ikan yang
disertai bau busuk karena proses pembusukan sehingga mengundang datangnya
berbagai vector penyakit diantaranya
lalat dan tikus (Fitria, 2008).
Limbah
Cair. Limbah cair dari hasil perikanan dapat berupa sisa
cucian ikan/udang, darah dan lendir ikan, yang banyak mengandung minyak ikan
sehingga menimbulkan bau amis yang menyengat. Limbah cair ini merupakan limbah
yang dominan dari usaha perikanan karena selama proses, membutuhkan air dalam
jumlah yang cukup banyak. Limbah cair juga berasal dari sanitasi dan toilet
pada lokasi usaha tersebut (Gintings, 1992).
BAB III
PEMANFAATAN LIMBAH PENGOLAHAN
HASIL PERIKANAN
Limbah pengolahan
hasil perikanan dapat dimanfaatkan hingga menghasilkan beberapa produk
yang bermanfaat. Contoh produk limbah perikanan antara lain Tulang ikan, kulit ikan,
petis ikan silase ikan dan pupuk organik.
3.1 Tulang Ikan
Limbah padat
perikanan merupakan limbah padat yang tidak menimbulkan zat-zat beracun bagi
lingkungan, namun merupakan limbah padat yang mudah membusuk, sehingga
menyebabkan bau yang sangat menyengat. Limbah padat dapat berupa kepala,
kulit, tulang ikan, potongan daging ikan, sisik, insang atau saluran
pencernaan (Sugiharto, 1987).
Menurut Hadiwiyoto (1993) ikan tersusun
atas tulang pokok pada ikan yang terdiri atas tulang punggung yang terdiri atas
56-200 ruas tulang yang saling dihubungkan dengan jaringan pengikat yang lentur
(kolagen).
Menurut
Trilaksani, dkk (2006) tulang ikan
merupakan salah satu bentuk limbah dari industri pengolahan ikan yang memiliki
kandungan kalsium terbanyak diantara bagian tubuh ikan, karena unsur utama dari
tulang ikan adalah kalsium, fosfor dan karbonat
Kalsium
merupakan unsur penting yang sangat dibutuhkan oleh tubuh, karena kalsium
berfungsi dalam metabolisme tubuh dan pembentukan tulang dan gigi. Tubuh
manusia memiliki tingkat kebutuhan kalsium yang berbeda menurut usia dan jenis
kelamin. Anak-anak membutuhkan kalsium 600 mg per hari sedangkan usia dewasa
800 mg hingga 1000 mg per hari (Widyakarya Pangan dan Gizi LIPI 2004).
Pemanfaatan limbah tulang ikan sebagai sumber kalsium merupakan alternatif
pemanfaatan limbah yang tepat dalam rangka menyediakan sumber pangan kaya
kalsium sekaligus mengurangi dampak buruk akibat pencemaran limbah pada
industri pengolahan hasil perikanan (Nabil 2005).
Tepung
tulang ikan dapat menjadi salah satu sumber kalsium yang harganya relatif murah
dan penanganannya yang sederhana dibanding dengan
produk susu bubuk dan turunannya
yang harganya relatif mahal sehingga sulit dijangkau oleh sebagian masyarakat
(Thalib 2009)
3.1.1 Tepung
Tulang Ikan
Kegiatan pengolahan ikan akan
menghasilkan limbah sisa atau hasil sampingan. Menurut Fahrul (2005) hasil
samping atau limbah merupakan bagian dari tubuh ikan (selain daging) yang tidak
terpakai pada pengolahan hasil-hasil perikanan sebab dianggap tidak dapat
menghasilkan produk yang memiliki nilai tambah. Hasil samping tersebut salah
satunya adalah tulang ikan, tulang ikan tergolong kedalam jenis limbah yang
bersifat organik jika tidak termanfaatkan dan
apabila dimanfaatkan lagi akan menghasilkan produk
yang bernilai tambah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa umumnya pengolahan tulang
ikan dijadikan sebagai bahan baku tepung ikan dan kerupuk yang memiliki nilai
ekonomi yang lebih rendah jika dibandingkan dengan gelatin. Pada ikan tuna yang
diolah menjadi produk loin, akan menghasilkan hasil samping berupa
tulang sekitar 15%, kepala sekitar 30%, sisa kulit dan sisik sekitar 10%
(Wiratmaja, 2006).
Tepung tulang dapat diperoleh melalui
tiga proses (Anggorodi 1985), yaitu :
1)
Pengukusan.
Tulang dikukus kemudian dikeringkan dan digiling untuk menghasilkan tepung
tulang ikan.
2)
Pemasakan
dengan uap dibawah tekanan. Tulang dimasak dengan tekanan kemudian diarangkan
dalam bejana tertutup sehingga didapat tulang dalam bentuk remah dan dapat
digiling menjadi tepung.
3)
Abu
tulang yang diperoleh dari pembakaran tulang.
Proses pembuatan tepung tulang
dimulai dengan : limbah ikan berupa tulang dicuci dengan air sampai bersih.
Kemudian direbus selama 30 menit pada suhu 100°C. Setelah tulang direbus
dimasukkan ke dalam autoklaf selama 45-60 menit pada suhu 121°C sampai tulang
menjadi lunak. Selanjutnya dilakukan penggilingan I dengan blender, pengovenan
selama 17 jam pada suhu 70°C kemudian penggilingan II sampai halus. Dilanjutkan
dengan pengayakan sehingga menjadi tepung tulang ikan.
3.1.2 Manfaat Tepung Tulang Ikan
Tulang ikan
merupakan salah satu limbah hasil pengolahan perikanan yang dapat dimanfaatkan
sebagai tepung untuk bahan pangan. Pemanfaatan tepung tulang ikan dapat
dilakukan dalam bentuk pengayaan (enrichment ) sebagai salah satu upaya
fortifikasi zat gizi dalam makanan. Tulang ikan banyak mengandung garam mineral
dari garam fosfat, seperti kalsium fosfat (Elfauziah, 2003).
Pemanfaatan
limbah tulang ikan salah satunya adalah dibuat tepung. Tepung ikan dapat
ditambahkan pada produk ekstrusi, roti, biskuit dan kue kering. Pada pembuatan
produk ekstrusi, tepung ikan dicampur dengan jagung, beras dan kacang hijau
(Fawzya dkk, 1997)
Baskoro
(2008) membuat biskuit dengan penambahan tepung tulang nila merah sebesar 0%,
5%, 10%, 15%, dan 20% dari tepung terigu, fortifikasi tepung
tulang nila merah yang terbaik
terhadap karakteristik dan kandungan kalsium pada
biskuit adalah fortifikasi tepung
tulang nila merah sebesar 10%. Kandungan kalsium pada konsentrasi ini sebesar
666 mg dari takaran saji biskuit 30 g.
Ngudiharjo
(2011) membuat mie kering dengan penambahan tepung tulang nila merah sebesar
0%, 5%, 10%, 15%, 20%, dan 25% dari tepung terigu. Hasil penelitian ini
menunjukan bahwa berdasarkan uji hedonik penambahan tepung tulang nila merah 10% paling disukai
panelis.
3.2. Kulit
Ikan
Kulit
ikan terdiri dari daerah punggung, perut dan ekor sesuai dengan bentuk
badannya. Kulit ikan tersusun dari komponen kimia protein, lemak, air,
dan mineral. Kulit ikan merupakan penghalang fisik terhadap perubahan
lingkungan serta serangan mikroba dari luar tubuh. Kulit ikan merupakan salah
satu bagian pada ikan yang banyak dimanfaatkan selain dagingnya. Kulit
ikan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan maupun non pangan. Kulit
ikan banyak digunakan sebagai bahan baku dalam proses pembuatan kerupuk
kulit ikan, gelatin, kulit olahan, tepung ikan, serta sumber kolagen untuk
kosmetik. Kandungan protein kolagen yang terdapat pada kulit ikan yaitu sebesar
41-84% (Judoamidjojo, 1981).
Kualitas
kulit ikan sangat tergantung pada jenis ikan dan cara pengolahannya. Pada umumnya limbah kulit ikan
diperoleh dengan mudah dari sisa-sisa pengolahan daging ikan, seperti sisa
pembuatan kerupuk ikan, bakso ikan, tepung ikan, abon ikan dan kecap ikan
(Indraswari, C,H. 2003). Kulit ikan
dari hampir semua jenis ikan dapat dimanfaatkan dalam pembuatan kerupuk kuIit ikan. Namun demikian,
kebanyakan limbah kuIit ikan yang diperoleh berasal dari ikan yang dianggap
mempunyai nilai ekonomis seperti: ikan tengiri, tuna, kakap, kakap merah, pari
(pe), hiu, lele, bandeng, dan belut. (Eddy Pumomo, 2002).
3.2.1
Kerupuk Kulit Ikan
Menurut Indraswari (2003) kerupuk
kulit ikan memiliki cita rasa yang sangat lezat, tidak kalah dengan kerupuk
kulit sapi yang mengandung nilai gizi tinggi seperti protein, lemak, mineral,
kalsium, fosfor, air, dan energi. Kualitas kerupuk ikan ditentukan oleh banyak
hal, tidak hanya berkaitan dengan proses pengolahan kulit ikan tersebut menjadi
kerupuk kuIit ikan, akan tetapi juga dipengaruhi oleh proses pengolahan ikan
hingga menghasilkan limbah yang berupa kulit ikan tersebut. Penanganan yang
kurang baik saat proses pengolahan dapat menghasilkan limbah kulit ikan yang
kurang baik pula, misalnya berbau tidak sedap (busuk) dan sebagian berasa pahit
akibat tercemar cairan empedu. Kondisi ini nantinya akan terbawa hingga menjadi
produk kerupuk kulit (rambak).
3.2.2
Pembuatan Kerupuk Kulit Ikan
Menurut Kristianingrum dkk (2006) pembuatan kerupuk kulit ikan
memerlukan peralatan yang sederhana dan murah, sehingga usaha ini dapat
dilakukan sebagai usaha sampingan untuk home industri atau usaha kecil
menengah. Alat-alat tersebut antara lain adalah:
1. Timbangan
2. Gelas
ukur atau takaran
3. Gunting
atau alat pemotong~
yaitu untuk memotong bagian-bagian tertentu dari
kulit ikan
4. Bak
plastik
5. Baskom
plastik
6. Penghancur
atan blender atau lumping alu
7. Alat
penjemur
8. Kompor
9. Seperangkat
alat penggoreng
10. Plastik
sealer untuk pengemasan
Cara pembuatan kerupuk kulit ikan terdiri
dari beberapa tahapan antara lain:
1)
Penyiapan bahan
pengeras dan bahan baku
a) Bahan pengeras pada prinsipnya dibuat dengan melarutkan
kapur sirih atau batu gamping atau kapur tohor dalam air secara terus menerus
selama 7 hari hingah menjadi bubur kabur yang lembut.
b)
Bahan baku berupa
kulit ikan yang masih kotor, yaitu yang masih bercampur dengan beberapa bagian
ikan yang lain (sirip. Ekor, isi perut, duri, atau kepala) harus dipisahkan
bagian bagian tersebut dan pilih yang mempunayai kualitas baik. Setelah itu
bersihakan dengan air hingga benar-benar bersih dan ditiriskan. Bahan baku dari
limbah kulit ikan yang sudah diawetkan sementara atau dikeringkan harus
direndam beberapa saat hingga menjadi basah kemudian baru dapat diproses.
c)
Dilakukan proses
pengerasan dengan larutan kapur sirih selama 1-2 jam agar kerupuk ikan nantinya
memiliki tektur yang kaku renyah dan tidak mudah lembek. Untuk 10 liter air
perendaman dibutuhkan 10 sedok air kapur sirih.
d)
Setelah proses
perendaman kulit ikan dicuci kembali dengan air hingga bau kapur yang menepel
pada kulit ikan benar-benar hilang, dan tiriskan.
e)
Setelah ditiriskan
kulit ikan yang telah keras tersebut dikeringkan. Kulit ikan telah keringkan
ini siap diolah
2)
Tahan pengolahan
a. Kulit ikan yang telah kering dipotong dengan gunting
untuk menyeragamkan bentuk dan ukurannya, sekaligus untuk memisahkan
bagian-bagian lain dari ikan yang mungkin masih terikut misalnya sirip, ekor,
duri dan lain-lain.
b. Selajutnya direndam dalam larutan bumbu selama 5- 10
menit kemudian diangkat dan tiriskan.
c. Kulit ikan yang sudahh dibumbui dijemur hingga benar
benar kering. Pada waktu penjemuran sebaiknya di bolak-balik supaya keringnya
bena-benar merata. Setelah kering dapat
langsung digoreng atau disimpan dalam kantong plastik.
Menurut Indraswari (2003) beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi kualitas kerupuk kulit ikan antara lain:
1. Kenampak
Meliputi
kondisi fisik, keseragaman (uniform)
bentuk dan ukuran serta pengemasan. Pada umumnya kondisi fisik kerupuk ikan
kurang menarik bila masih ditemukan adanya sisik ikan dalam jumlah yang cukup
banyak. Hal ini menunjukkan proses pengolahan ikan yang kurang baik dan kurang
hygienis. Demikian pula bentuk yang kurang seragam memberikan kesan murah, oleh
karena itu harns diupayakan keseragaman bentuk dan ukuran supaya kelihatan
menarik. Di samping kerapian pengemasan dan jenis baban pengemas produk kerupuk
kulit ikan akan mempengaruhi kenampak
dan harga jualnya.
2.
Cita rasa
Cita rasa yang khas dan lezat akan
muncul apabila pada saat pembuatan kerupuk kulit ikan dilakukan penambahan
bumbu yang sesuai serta asam matang yang berfungsi untuk menghilangkan bau amis~ Akan tetapi,
rasa pahit yang telah terlanjur ada pada kulit ikan mentah, meskipun dalam
jumlah yang relatif sedikit
tetap tidak dapat dihilangkan dan tetap saja
mengganggu. Rasa pahit tersebut dapat disebabkan oleh adanya pencemaran empedu
atau pencemaran air kapur yang digunakan untuk merendam.
3.
Minyak Goreng
Untuk menghindari ketengikan
(ransiditas) disarankan untuk menggunakan minyak goreng buatan pabrik yang
diproduksi secara modem sehingga lebih awet.
4. Kadar Air
Daya
tahan (keawetan) kerupuk kulit ikan baik yang disimpan dalam keadaan mentah
maupun matang antara lain dipengaruhi oleh kadar air yang terkandung di
dalamnya.. Di samping itu jenis dan cara pengemasan juga berpengaruh terhadap
daya simpannya. Hal-hal lain seperti penggunaan garam dan asam serta bumbu
bumbu dalam proses pembuatan kerupuk kulit ikan juga dapat membantu
meningkatkan daya tahan (daya simpan) kerupuk kulit ikan tersebut.
3.3.
Petis Ikan
Petis
adalah suatu produk olahan hasil perikanan, yang dibuat dari hasil ekstrak ikan
melalui proses perebusan dan selanjutnya dipekatkan atau dikentalkan dengan
penambahan bahan pembantu dan bahan penyedap. Petis ikan yang terdapat di
Indonesia merupakan hasil penyaringan dari proses perebusan (pemindangan) ikan,
atau limbah hasil perebusan (pemindangan) dari ikan yang tidak dipergunakan
lagi namun mengandung zat gizi yang cukup tinggi. Sebagai hasil ikutan, petis
ikan yang dikumpulkan dari cairan hasil pemindangan diuapkan lebih lanjut
dengan perebusan lanjutan, sambil ditambahkan gula sebagai bahan pengawet
(Soeseno 1984 dalam Danitasari, 2010).
Petis
ikan yang terbuat dari air limbah ikan pindang rasanya lebih tajam dan asin
dibandingkan dengan petis udang yang terbuat dari air limbah udang (Anonim 2008a dalam Danitasari, 2010). Adapun kegunaan petis adalah sebagai penyedap
atau penambah rasa enak pada masakan atau sambal yang dipersiapkan. Petis ikan
yang terdapat di Indonesia terkenal di daerah Jawa Timur, khususnya di Pulau
Madura, namun petis ikan tidak begitu terkenal di daerah Jawa Tengah dan Jawa
Barat karena rasanya yang kurang lezat dan bau amis yang menyengat (Wijatmoko
2004 dalam Danitasari, 2010).
3.3.1
Bahan baku petis
Berdasarkan
cara pembuatannya, petis dapat digolongkan atas empat kategori mutu, yaitu
petis kualitas istimewa, kualitas ekstra, petis nomor satu, dan petis nomor
dua. Petis istimewa menggunakan bahan baku udang Werus (Metapenaeus monoceros),
sedangkan bahan baku untuk petis kualitas nomor satu dan nomor dua adalah ampas
dari petis kualitas ekstra. Petis yang bermutu rendah umumnya dibuat dari bahan
baku kepala udang atau udang kecil-kecil (Saputra 2008 dalam Danitasari, 2010).
Bahan
baku utama pembuatan petis udang adalah daging atau limbah udang dan gula
merah. Bahan mentah petis dapat digunakan ikan utuh, sisa bagian ikan dari
pabrik pengolahan ikan atau udang (pembekuan dan pengalengan), maupun sisa air
rebusan dari pengolahan ebi atau pengolahan pindang. Bahan baku tambahannya
berupa bawang putih, cabai, lada, gula pasir, tepung beras, tepung tapioka,
tepung kanji, tepung arang kayu, garam, dan air (Astawan 2004 dalam Danitasari, 2010).
3.3.2
Bahan-bahan tambahan petis
Bahan
baku tambahan yang digunakan pada pembuatan petis ikan adalah:
a. Gula (Saccharum oficinarum)
Gula
yang digunakan dalam proses pembuatan petis ini adalah gula pasir dan gula
merah (gula kelapa). Menurut Sudarmadji (1982) tujuan penambahan gula adalah
untuk memperbaiki rasa, bau, memperbaiki tekstur, menambah cita rasa sehingga
meningkatkan sifat kunyah bahan makanan dan memberikan warna. Apabila gula yang
diberikan dalam bahan makanan dengan konsentrasi yang lebih tinggi dari 40%
padatan terlarut, sebagian air yang ada menjadi tidak tersedia untuk
pertumbuhan mikroorganisme dan aw pada bahan berkurang (Buckle et al, 2007 dalam Danitasari, 2010).
b. Bawang putih (Allium sativum)
Bawang
putih mengandung sulfur, asam amino, zat mineral termasuk germanium, selenium,
dan zinc, serta vitamin A, B, dan C. Allicin dipercaya sebagai zat kandungan
bawang putih yang paling banyak memberikan manfaat, selain menghasilkan bau
yang menyengat. Bawang putih umum digunakan sebagai bahan masakan daripada
sebagai sayuran karena rasanya yang sangat kuat
(Saparinto dan Hidayati
2006).
c. Cabai rawit (Capsicum
frutescens L.)
Cabai
rawit atau cabe rawit (Capsicum frutescens L.), adalah buah dan tumbuhan anggota
genus Capsicum. Selain di Indonesia, cabai rawit juga tumbuh dan populer
sebagai bumbu masakan di negara-negara Asia Tenggara lainnya. Di Malaysia dan
Singapura dinamakan cili padi, di Filipina siling
labuyo, dan di Thailand
phrik
khi nu. Dalam bahasa
Inggris dikenal dengan nama Thai pepper atau
bird's
eye chili pepper.
Buah cabai rawit berubah warnanya dari hijau menjadi merah saat matang.
Meskipun ukurannya lebih kecil daripada varietas cabai lainnya, cabai rawit
dianggap cukup pedas karena kepedasannya mencapai 50.000 – 100.000 pada skala Scoville
(Saparinto dan Hidayati 2006).
3.3.3
Proses pembuatan petis ikan
Pada
prinsipnya pembuatan petis merupakan serangkaian kegiatan yang meliputi
penyiapan bahan baku, perebusan, dan pengentalan. Selengkapnya proses pembuatan
petis adalah sebagai berikut (Anonim 2002
dalam Danitasari, 2010) :
a) Mula-mula
kepala udang harus dicuci bersih karena merupakan sumber bakteri dan terdapatnya
sistem pencernaan di kepala.
b) Setelah
kepala udang dicuci, diberi air dengan perbandingan tertentu. Kemudian dimasak atau
direbus, biasanya selama 3 sampai 6 jam. Selanjutnya dilakukan pemerasan dan
ampasnya dibuang. Perebusan ini dilakukan untuk mengambil sari dari kepala
udang tersebut. Pembuatan petis juga dapat dilakukan dari ekstrak ikan atau
udang hasil samping pembuatan pindang atau ebi (udang kering).
c) Sari
udang atau ikan tersebut dimasukkan ke dalam belanga kemudian dimasak, sambil
diaduk-aduk sampai agak kental. Setelah itu dilakukan penambahan garam dan gula
sedikit demi sedikit ataupun penambahan bumbu-bumbu seperti bawang putih, cabai
rawit, dan merica.
d) Selain
itu, di beberapa daerah juga ada yang menambahkan tepung tapioka dan tepung
arang kayu atau arang jerami dalam pembuatan petis atau dengan menambahkan
tepung terigu.
e) Perebusan
dilakukan sampai adonan mengental, yang ditandai dengan pengadukan yang terasa
berat atau apabila dijatuhkan dari sendok pengaduk, cairan tidak meluncur tetapi
menetes (tetes demi tetes).
f) Petis
yang merupakan produk saus kental yang elastis, sangat cocok dikemas dengan
botol atau stoples yang bermulut lebar. Sebelum digunakan, botol-botol pengemas
tersebut harus disterilisasi terlebih dahulu. Petis juga dapat dikemas dalam
botol plastik.
3.3.4
Komposisi zat gizi petis
Limbah
yang berasal dari air perebusan ikan Tongkol yang umumnya dibuang setelah ikan
pindang matang digunakan sebagai bahan baku petis. Cairan tersebut berasa asin
dan mengandung sejumlah zat gizi dan komponen cita rasa yang terlarut selama
perebusan ikan, seperti protein, asam amino, vitamin, dan mineral. Cita rasa
gurih pada petis berasal dari dua komponen utama, yaitu peptida dan asam amino
yang terdapat pada ekstrak ikan atau udang serta dari komponen bumbu yang
digunakan. Asam amino glutamat pada ekstrak ikan merupakan asam amino yang
paling dominan menentukan rasa gurih. Sifat asam glutamat yang ada pada esktrak
ikan, udang, atau daging sama dengan asam glutamat yang terdapat pada monosodium
glutamat (MSG) yang berbentuk bubuk
penyedap rasa (Astawan
2004 dalam Danitasari, 2010).
Petis
yang diolah dari cairan hasil proses pemindangan kaya akan zat gizi dan
nitrogen terlarut, hal ini dapat dilihat pada komposisi kimia (protein, lemak, karbohidrat,
dan air) petis udang dan petis ikan pada Tabel 1
Tabel 1. Komposisi
kimia petis udang dan petis ikan
Komposisi
|
Petis Ikan
|
Petis Udang
|
Protein (%)
Lemak (%)
Karbohidrat (%)
Air (%)
|
20,00
0,20
24,00
56,00
|
15,00
0,10
40,00
39,00
|
Sumber
: Anonim 1989 dalam Danitasari, 2010).
Komposisi
gizi pada petis yang ada di pasaran sangat bervariasi sekali, tergantung pada
bahan baku yang digunakan dan cara pembuatannya. Penambahan gula dan tepung
dalam proses pembuatannya menyebabkan cukup tingginya kadar karbohidrat pada
petis, yaitu sekitar 20-40 g per 100 g. Kandungan mineral yang cukup tinggi
pada petis adalah kalsium, fosfor, dan zat
besi, masing-masing
sebanyak 37, 36, dan 3 mg per 100 gram. Walaupun kandungan protein petis cukup
tinggi (15-20 g/100 g), petis tidak dapat dijadikan
sebagai sumber protein
karena pemakaiannya dilakukan dalam jumlah sangat sedikit. Petis hanya
dikonsumsi sebatas sebagai pembangkit cita rasa (Anonim 2002 dalam Danitasari, 2010).
Limbah
perikanan yang dihasilkan dari kepala, ekor, dan jenis ikan yang tidak
dimanfaatkan lagi ternyata masih mengandung unsur mikro yang terdiri dari protein dan lemak, yang dapat terurai
menghasilkan nitrat dan amonia yang cukup tinggi, sehingga dapat dimanfaatkan
sebagai bahan baku pupuk organik cair (Setiyawan,
2010).
3.4
Silase Ikan
Ikan rucah (trash fish) merupakan
surplus ikan hasil tangkapan atau sisa hasil pengolahan ikan, ikan rucah juga
sering di definisikan sebagai ikan yang
tidak layak dikonsumsi oleh manusia karena penanganan yang kurang
tepat atau tidak diolah sehingga tidak hieginis (Moeljanto, 1994 dalam Handajani 2014)
Pada umumnya ikan rucah tidak dapat
dimanfaatkan atau diolah sebagai produk untuk dikonsumsi manusia namun biasanya
dimanfaatkan sebagai bahan baku pakan ternak atau ikan, berupa tepung ikan.
Biaya pakan yang dihabiskan selama proses budidaya adalah 60% dari biaya
keseluruhandan komponenen utama dalam pakan ikan ialah tepung ikan atau protein
hewani (Wibowo, 2006 dalam Handajani 2014))
Selain diolah menjadi tepung ikan, ikan
rucah dapat diolah menjadi silase ikan. Produk silase ikan merupakan suatu
produk cair yang dibuat dari ikan-ikan utuh atau sisa sisa industri pengolahan
ikan yang dicairkan menyerupai bubur oleh enzim-enzim yang terdapat pada
ikan-ikan itu sendiri melalui proses fermentasi dengan bantuan asam atau
mikroba yang sengaja ditambahkan (Suharto, 1997 dalam Handajani 2014)
Pembuatan secara kimiawi menggunakan
penambahan asam kuat yaitu asam mineral (asam anorganik) sedangkan pembuatan
secara biologi yaitu memanfaatkan mikroba tertentu (bakteri asam laktat) dengan
menambahkan bahan sumber karbohidrat seperti dedak, polard, ataupun molase.
Silase yang dibuat menggunakan asam mineral bersifat sangat korosif sehingga
perlu dinetralkan terlebih dahulu sebelum digunakan (Akhirani, 2011 dalam Handajani 2014).
3.4.1
Pembuatan silase ikan rucah
Dalam pembuatan silase ikan biasanya
memanfaatkan ikan rucah dan limbah
pengolahan ( Deputi, 2002). Bahan baku silase ikan utuh, potongan
kepala, sisa filet maupun isi perut ikan baik yang segar maupun yang kurang
segar. Dihentikan reaksi pembusukan begitu proses pembuatan silase dimulai
karena menurunnya pH sampai 4 akan
membunuh bakteri pembusuk yang hanya dapat bertahan minimal pada pH 5,5
(Jatmiko, 2002).
Pada dasarnya prinsip pembuatan silase “ensilase” yaitu prinsip pengawetan dengan menambahkan
asam, sehingga akan terjadi penurunan pH dan menyebabkan silase bebas dari
bakteri (Kompiang dan Ilyas 1983 dalam Adityana, 2007).
Metode ensilase melimbatkan potongan
limbah ikan segar untuk memperluas area pemukaan bahan sehingga mempermudah
kerja enzim untuk menghasilkan protein cair dan minyak. Dalam kendisi cair,
silase dapat dikonsentrasikan untuk melepas kelebiahan air dari berat silase
ikan (girindra, 1993 dalam
mukodiningsih, 2003).
Silase ikan dapat dibuat dengan
menambahkan asam kedalam bahan baku asam yang digunakan dapat berupa asam
anorganik (asam klorida, asam nitrat, dan asam sulfat) atau asam organik (asam
formiat, asam asetat dan asam propionat)
(Jatmiko, 2002).
Akan tetapi yang bisa digunakan asam
organik terutama asam formiat karena dapat bereaksi pada pH yang agak tinggi
sehingga dapat menahan kerja bakteri. Selain itu silase yang dihasilkan tidak
perlu di netralkan sebelum ditambahkan ke makanan (Tatterson and Windsor, 2001 dalam Adityana.
2007).
Pembuatan silase ikan diawali dengan
pencacahan/pelumatan bahan baku hingga menjadi bagian-bagian kecil. Lumatan
tersebut disaring dengan saringan berukuran 10 mm kemudian kemudian ditambah
asam formiat. Hal yang paling paling penting adalah dalam pengadukan bahan
sebab dengan pencampuran (Tetterson and
windsor. 2001 dalam Adityana. 2007)
Silase ikan pada umumnya disimpan pada
suhu kamar sehingga enzim pencernaan dapat bekerja mencairkan jaringan ikan.
Penyimpanan yang terbaik dipertahankan pada pH 3-4 dimana pH ini optimum untuk
mengaktifkan enzim proteolitik seperti cathepsin (Rustad 2001). Enzim tersebut
akan memcahkan protein menjadi peptida rantai pendek, asam amino bebas,
beberapa amonia dan gugus amida. Prosesnya dikenal sebagai autolisis (Kjos, 2001
dalam Adityana. 2007)
Kecepatan pencairan tergantung pada
bahan baku kesegaran dan temperatur dari proses. Ikan segar lebih mudah mencair
dibandingkan dengan ikan yang akan membusuk/tidak segar dan pada kondisi yang
hangat proses pembuatanya lebih cepat (Tatterson and Windsor, 2001 dalam Adityana)
3.4.2
Mutu silase ikan Rucah
Menurut Irani (1992) untuk mendapat
silase yang baik harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Memiliki
pH dibawah 5.
2. Kandungan
amonia rendah.
Menurut Afrianto dan Liviawaty (1989) silase
yang bermutu baik mempunyai kandungan amonia sekitar 2% dari
jumlah total protein yang dikandungnya
3. Tidak
terdapat bakteri patogen seperti salmonella
sp atau staphylococcus sp.
4. Jumlah
spora anaerob ada E. Coli rendah.
5. Tetap
stabil untuk waktu lebih dari 6 bulan dalam keadan basah dan lebih dari 1 tahun
adalam keadaan kering.
Menurut Afrianto dan liviawaty (1989)
komposisi kimia silase yang berasal dari ikan utuh mengandung 70-75% air, 18-20
protein, 4-6% abu, 1-2% lemak, 1-3% Ca, dan 0,3-0,9 fosfor
3.4.3.
Keuntungan dan Kelemahan Selase Ikan Rucah
Pemanfaatan ikan rucah menjadi silase
merupakan suatu langka yang menguntungkan karena tidak memerlukan peralatan dan
proses yang rumit serta tidak menimbulkan pencemaran lingkungan karena tidak
ada bagian ikan yang terbuang. Akan tetapi pembuatan silase mempunyai masalah
dalam hal penyimpana silase yang berbentuk cairan membutuhkan ruang penyimpanan
yang besar (Afrianto dan liviawaty, 1989).
2.5
Pupuk Organik Cair Limbah Hasil Perikanan
Pupuk organik
cair merupakan salah satu jenis pupuk organik yang biasanya terbuat dari
limbah hasil perikanan. Pupuk ini dibuat dengan cara menghancurkan limbah
perikanan dan sisa – sisa olahan ikan, kemudian diproses lebih lanjut dalam
bentuk cair dengan kandungan nitrogen 5 – 9%, fosfor 2 – 4%, dan kalium 2 –
7% (Sujatmaka, 1989).
Pupuk
organik cair dari bahan baku ikan dilaporkan
(Gundoyo, 2003)
dapat menurunkan serangan patogen Macrophomina phaseolina, Rhizoctonia
solani dan Fusarium spp, pada tanaman kacang panjang. Sedangkan
menurut (Lingga P, 2005), pupuk organik cair dari bahan baku ikan dapat
menginduksi Actynomicetes spp dan Rhizobacteria spp yang berperan
dalam menghasilkan hormon, yang tumbuh disekitar perakaran tanaman.
3.5.1
Bahan Baku Pupuk Organik Cair
Bahan baku pembuatan pupuk organik
dapat berasal dari limbah ikan atau ikan-ikan yang tidak punya nilai ekonomis.
Limbah cair pembuatan tepung ikan merupakan salah satu contoh limbah pengolahan
ikan. Pupuk dari limbah pengolahan ikan ini disukai pengusaha bunga dan tanaman
hias lainnya karena pupuk ini menyebabkan daun tanaman menjadi lebih mengkilap
dan segar, tanaman berbunga lebih banyak dan bunga bertahan lebih lama
(Hadisuwito, 2012).
Limbah
ikan yang digunakan sebagai pupuk pertanian terdapat dalam dua bentuk utama,
yaitu dalam bentuk cairan dan kompos ikan. Dalam bentuk kompos maka limbah ikan
dicampur dengan limbah dapur dan limbah tanaman, dan dibiarakan terurai. Pupuk
cair dibuat dengan cara mencampur limbah ikan dengan asam organik dan dibiarkan
pada suhu kamar sampai terurai dengan baik (Gundoyo, 2003)
3.5.2
Proses Pembuatan Pupuk Organik Cair
Proses
produksi pupuk organik cair sangat dipengaruhi kandungan lemak bahan baku ikan.
Dengan kandungan lemak yang tinggi, kemungkinan besar bahwa prosesnya akan
lambat atau tidak sempurna. Berbeda dengan kandungan lemak yang sedikit, maka
hasil pupuknya akan termasuk yang terbaik. Berdasarkan kandungan lemak bahan
baku, maka proses pembuatan pupuk organik cair berjalan dalam dua tahap, yaitu
proses fisik melalui penggilingan bahan-bahan yang dipergunakan, dan proses
biologis yaitu lanjutan proses yang dikenal dengan fermentasi non-alkoholik atau proses ensiling (Basmal, 2008).
Pupuk
dari limbah cair di buat dengan menambahkan bantuan posfat alam untuk
meningkatkan kandungan unsur phospat (P), dan kelarutan bantuan fosfat
ditingkatkan dengan menambahkan mikroba pelarut posfat, dilanjutkan dengan
inkubasi selama dua hari lagi. Kandungan hara pupuk organik cair tergantung
pada jenis dan ukuran ikan, sehingga kandungan unsur hara limbah ikan
bervariasi dari 1500-2000 ppm (N), 300 ppm (P), dan 3000-4000ppm (K), serta pH
sekitar 6,5 (Lingga P, 2005). Berikut ini beberapa proses pembutan pupuk
organik cair:
Menurut
(Hadisuwito, 2012), proses pembuatan pupuk organik cair dari limbah hasil
penyiangan ikan, yang pertama dilakukan yaitu mengumpulkan limbah hasil
penyiagan ikan, selanjutnya menyiapkan ragi tempe/bioaktivator yang berfungsi
sebagai pengurai. Proses selanjutnya yaitu memasukan kedua bahan tersebut
kedalam gentong yang tertutup (hampa udara) dan setiap hari gentong dibuka
untuk diaduk selama lima menit. Selang satu minggu limbah tersebut akan
membentuk endapan berupa cairan dan padatan, kemudian pisahkan endapan yang
berupa cairan yang digunakan sebabagai pupuk organic cair (Hadisuwito, 2012) Lebih
lanjut dapat dilihat pada gambar 1. Proses pembuatan pupuk cair dari limbah
penyiangan ikan
Limbah hasil
penyiangan ikan
|
Pencampuran
bahan sejenis ragi yang umumnya disebut biovaktor yang fungsingya sebagai
pengurai.
|
Pemasukan
kedalam gentong yang tertutup
|
Setiap hari
gentong tersebut di buka selama 5 menit untuk diaduk
|
Selang 1
minggu, limbah tersebut akan membentuk endapan. Ada cairan dan endapan
(padatan)
|
Pupuk
organik cair
|
Gambar 1. Proses pembuatan pupuk
cair dari limbah hasil penyiangan ikan.
Menurut
(Gundoyo, 2010) proses
pembuatan pupuk organik cair dari limbah hasil perikanan yaitu terlebih dahulu
menyiapkan bahan berupa cincangan
ikan yang sudah terbuang, tong plastik atau tong bekas wadah cat tembok ukuran
25 kilogram (kg), lengkap dengan tutupnya. Siapkan juga kantong plastik ukuran
60 cm x 90 cm dan beri beberapa lubang sebesar 1 cm, lubang ini berfungsi untuk
memperlancar sirkulasi air dalam tong, selanjutnya 1/4 kg gula merah yang sudah
dilarutkan, 1/2 liter bahan EM4 untuk mempermudah proses pelarutan, 1/2 liter
air bekas cucian beras, dan 10 liter air tanah. Untuk hasil maksimal jangan
gunakan air hujan atau air PAM. Proses selanjutnya yaitu pencampuran, Campur
air bekas cucian beras, EM4, dan air gula ke dalam tong plastik. Sementara itu
cincangan ikan dimasukkan ke dalam kantong plastik yang sudah dilubangi. Setelah
itu, masukkan kantong plastik ini ke dalam tong plastik dan tambahkan air
tanah, kemudian ikat kantong plastik berisi cincangan ikan itu dan tutup pula
tong plastik itu dengan rapat selama tiga minggu. Setelah tiga minggu, limbah
ikan dalam tong itu tidak berbau dan kelihatan menyusut. Angkat limbah itu
hingga air tiris. Limbah ikan dari dalam plastik menjadi pupuk padat, sedangkan
air dalam tong menjadi pupuk cair
3.5.3
Manfaat Pupuk Organik Cair dari Limbah
Hasil Perikanan
Pupuk
organik cair berbahan baku ikan kaya akan unsur makro dan mikro. Pupuk tersebut
dilaporkan nyata meningkatkan pertumbuhan beberapa jenis sayuran dengan tingkat
penambahan hasil mencapai 60% dari perlakuan kontrol (Fauziah, 2012). Selain
sebagai sumber hara, pupuk berbahan baku ikan dilaporkan nyata menurunkan
serangan patogen Macrophomina phaseolina, Rhizoctonia solani and Fusarium
spp, pada tanaman kacang panjang (Gundoyo, 2003), serta dapat menginduksi Actynomicetes
spp. dan Rhizobacteria spp yang berperan dalam menghasilkan hormon
tumbuh disekitar perakaran tanaman (Lingga P, 2005). Namun demikian, pupuk ikan
yang telah dikembangkan saat ini umumnya berasal dari ikan berkualitas baik
sehingga bersaing dengan kebutuhan pangan masyarakat. Disisi yang lain, limbah
ikan tersedia dalam jumlah yang cukup besar dan belum termanfaatkan. Limbah
tersebut umumnya terkumpul di tempat-tempat penampungan ikan serta pasar-pasar
tradisional. Komposisi limbah tersebut umumnya berupa ikan yang telah rusak,
isi perut, sirip, kepala, dan sisik. Apabila dimanfaatkan, maka limbah ikan
tersebut berpotensi untuk dijadikan pupuk organik cair dari ikan yang
berkualitas baik setara dengan pupuk organik yang telah ada dipasaran
(Hadisuwito, 2012).
Salah
satu hara yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah banyak adalah kalsium(Ca). hara
ini dapat di peroleh dari limbah ikan. Menurut Parmata, (2004), bahwa unsur
hara Ca dapat mempengaruhi pertumbuhan
tanaman dalam beberpa hal, diantaranya:
(1). Mengatur pengisapan air dalam tanah, (2). Mengatifkan pembentukan
bulu-bulu akar dan biji, dan (3).
Menguatkan batang. Kekurangan kalsium (Ca) dapat menyebabkan pertumbuhan dan
ranting terhambat dan batang tanaman tidak kokoh, ujung akar dan akar rambut
mati, pucuk dan kuncup bunga berjatuhan. Selain itu pupuk organik cair ini
memiliki bau yang busuk, akan tetapi bau busuk tersebut dapat diatasi antara
lain dengan menurunkan pH limbah cair, memberi aerasi, menambahkan bahan
penyerap bau, menggunakan mikroba yang mempercepat proses dekomposisi dan
merombak senyawa yang menimbulkan bau. Proses menghilangkan bau busuk dari
limbah cair pengolahan tepung ikan untuk dijadikan bahan baku pupuk cair
dilakukan dengan menurunkan pH limbah ikan dari 8,0 menjadi 6,0 dengan
penambahan HCl, menambahkan molases, dan menginokulasi limbah ikan dengan
kultur bakteri asam laktat. Kultur ini diinkubasi pada shaker dengan memberikan
aerasi secara terputus selang dua jam dengan dikocok pada 120 ppm. Dengan cara
ini bau busuk limbah ikan hilang dalam waktu inkubasi lima hari, (Hadisuwito, 2012).
Menurut
(Basmal, 2008), keunggulan lain yang
dimiliki pada pupuk organik cair yaitu:
1. Pupuk
yang dihasilkan merupakan pupuk organik yang unsur haranya lebih lengkap dibandingkan dengan pupuk anorganik,
2. Membuat
daun tanaman hias menjadi lebih mengkilap, bunga lebih banyak dan bertahan
lebih lama,
3. Bahan
baku melimpah dan murah, karena memanfaatkan limbah pengolahan ikan,
4. Harga
jual kompetitif jika dibandingkan dengan produk impor yang sangat mahal.
5. .Konsep
back to nature melalui pertanian
organik
BAB III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Berdasarkan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1. Limbah
yang dihasilkan dari pengolahan hasil perikanan umumnya dapat di golongkan
menjadi 3 kelompok yaitu: Limbah padat
bersifat basah dan dihasilkan oleh usaha perikanan berupa
potongan-potongan ikan yang tidak dimanfaatkan. Limbah cair dari hasil perikanan dapat berupa
sisa cucian ikan/udang, darah
dan lendir ikan, yang banyak mengandung minyak ikan sehingga menimbulkan bau
amis yang menyengat.
Limbah hasil samping merupakan sisa produksi yang masih dapat dipergunakan
untuk keperluan produksi yang lain diantaranya adalah potongan daging dalam
merapaikan fillet (biasa disebut dengan kegiatan trimming), potongan tubuh yang telah diambil dagingnya untuk fillet,
atau daging merah (read meat) dari
seleksi daging ikan tuna yang akan dikalengkan.
2. Jenis limbah hasil perikanan seperti tulang ikan dapat di manfaatkan
sebagai tepung ikan, kemudian tepung tulang dapat di jadikan pakan ternak, Atau
penambahan dalam pembuatan roti dan sejenisnya. Limbah kulit ikan dapat di
manfaatkan sebagai produk bernilai
ekonomis seperti kerupuk dan gelatin, sedangkan ikan yang tidak bernilai
ekonomis dijadikan silase ikan dapat juga di manfaatkan sebagai pakan ternak,
selain itu juga rebusan ikan dapat di jadikan petis ikan bahkan limbah cair
hasil perikanan bisa dijadikan pupuk organik.
DAFTAR PUSTAKA
Adityana, D.
2007. Pemanfaatan Berbagai Jenis Silase
Ikan Rucah Pada Produksi Biomassa (Artemia Franciscana).skripsi. Jurusan
Biologi. Fakultas Matematika dan Pengetahuan Alam. Universitas Sebelas Maret.
Surakarta.
Afrianto, E. Dan Liviawaty, E. 1989.
Pengawetan dan Pengolahan Ikan.
Penerbit Kanisius. Yogyakarta
Basmal,
J. 2008. Prospek pemanfaatan rumput laut sebagai bahan pupuk organik cair. Squalen
Buletin Pascapanen & Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. No 12.Vol
V.
Bustami, I.
2005. kaji ulang sistem pengolahan limbah cair industri hasil perikanan secara
biologis dengan lumpur aktif IPB (Bogor
Agricultural University)
Danitasari, S.
2010. Karakterisasi petis ikan dari limbah cair Hasil
perebusan ikan tongkol (euthynnus affinis). [skripsi]. Bogor : Departemen Teknologi Hasil Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Dewantoro, R.A.
2003. Proses pengolahan limbah cair pada usaha pembekuan ikan di PT.
ILUFA-Pasuruan Jawa Timur. Karya Ilmiah
Praktek Akhir, Akademi Perikanan Sidoarjo, DKP.
Dwicaksono
B; Ramadhany M; Suharto B; dan Susanaawari L. 2013. Pengaruh penambahan effective microorganisms pada limbah cair
industri perikanan terhadap kualitas pupuk cair organikJurnal Sumberdaya
Alam & Lingkungan, Fakultas
Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya
Ditjen Perikanan
Budidaya (Tekno Ikan). 2007. “Pemanfaatan
Limbah Ikan Sebagai
Bahan Baku Pupuk
Organik”, DKP.
Elifauziah, R. 2003.
Pemisahan kalsium dari tulang
kepala ikan patin (pangasius sp.) [skripsi]. Fakultas perikanan dan
ilmu kelautan,IPB.
Fawzya, Y.N., Rufina, M. Sugiyono
dan Irianto, H.E. 1997. Quality
ofextruded food products made from corn, rice and fish flour mixture.didalam
APFIC Summary report of papers presented at the tenth session of the Working
Party 19 on Fish Technology and Marketing, Colombo, Sri Lanka 4-7 June 1996. FAO
Fisheries Report No.563.Rome, FAO p 265-269
Fitria.
2008. Pembuatan Pupuk Organik Cair
dari Limbah Cair Industri Perikanan Menggunakan Asam Asetat dan EM4 (Effective
Microorganisme 4). [Tugas Akhir]. Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Ginting, P. 1992. Mencegah dan mengendalikan
pencemaran industry. Edesi 1. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Gundoyo,
W. 2010. Pembuatan Pupuk Cair Organik dari Limbah Ikan. Tugas Akhir. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. pdf. Diakses pada
tanggal 30 April 2014.
Hadisuwito. 2012.
Membuat Pupuk Organik Cair. Agromedia
Pustaka:
Jakarta.
Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi
Pengolahan Hasil Perikanan, Fakultas Teknologi Pertanian UGM. Liberty.
Yogyakarta.
Handajani, H. 2014. Peningkatan
kualitas silase limbah ikan secara biologisDengan memanfaatkan bakteri asam
laktat. Jurnal Gamma,
Issn 0216-9037. Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian Peternakan. Universitas Muhammadiyah
Malang.
Hartati, I. 2010. Kajian Produksi Kolagen Dari Limbah Sisik Ikan Secara Ekstraksi
Enzimatis, Universitas Wahid
Hasyim Semarang
Heriyanto. 2006.
Pengaruh rasio COD/TKN pada proses denitrifikasi limbah cair
industri perikanan dengan lumpur aktif. [skripsi]. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Indraswari,
C.H. 2003. Rambak Kulit lkan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Jatmiko, B M. M.
2002 “Teknologi Dan Aplikasi Tepung Silase Ikan (TST)” Makalah Falsafat Sains (PPs 702). Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Laksmi, J. dan Rahayu,W., 1993. Penanganan Limbah Industri Pangan. Kanisius.
Jakarta.
Nabil, M. 2005. Pemanfaatan Limbah Tulang Ikan Tuna (Thunnus sp.)
sebagai Sumber Kalsium dengan Metode Hidrolisis Protein. Skripsi. Program Studi
Teknologi Hasil Perikanan, IPB.
Mukodiningsih, B. Sulistiyanto, V. D
Yuniarto. 2003. Kajian Pengaruh Suhu
Pengeringan Terhadap Kadar Protein, Kalsium Dan Fosfor Tepung Silase Ikan.
http:/www.balitbangjateng.go.id/cari l php?kunci=15.
Resmawati, M. B., Masithah, E. D.,
Sulmartiwi, L. 2012. Pengaruh Pemberian Pupuk Cair Ikan Lemuru (Sardinella sp.)
terhadap Kepadatan Populasi Spirulina platensis. Journal of Marine and Coastal Science, 1(1), 22 –33, 2012.Fakultas
Perikanan dan Kelautan, Universitas Airlangga: Surabaya.
Sari, N. 2005.
Pengaruh Rasio COD/NO3 pada Parameter Biokinetika Denitrifikasi Pengolahan Limbah Cair Perikanan dengan
Lumpur Aktif [skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut
Pertanian Bogor.
Thalib, A. 2009. Pemanfaatan Tepung Tulang Ikan Madidihang
(Thunnus albacores) sebagai Sumber Kalsium dan Fosfor untuk Meningkatkan ilai
Gizi Makron Kenari. Skripsi. Sekolah Pascasarjana, IPB. Bogor.
Trilaksani, W., E. Salamah dan M.
Nabil.2006. Pemanfaatan Limbah Tulang
Ikan Tuna ( Thunnus Sp.) Sebagai Sumber Kalsium Dengan MetodeHidrolisis Protein.
Buletin Teknologi Hasil Perikanan Vol IX Nomor 2. Departemen Teknologi Hasil Perairan,
FPIK, IPB. Bogor.
Widyakarya Pangan Gizi LIPI. 2004.
Meningkatkan Produktivitas dan Daya Saing Bangsa. Dalam: Pangan dan Gizi Masa
Depan. Serpong, 17-19 Februari 1998. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,
Jakarta
Wiratmaja, H. 2006. Perbaikan Nilai
Tambah Limbah Tulang Ikan Tuna (Thunnus Sp) Menjadi Gelatin Serta Analisis
Sifat Fisika, Kimia (skrisip). Institut Pertanian Bogor